KEADAAN MASYARAKAT SUMATRA SEBELUM MASUKNYA ISLAM. Sumatera Utara. Sejarah Islam Di Minangkabau Pdf To Jpg. Sejarah Berdirinya LDII. WikiLatih UIN Imam Bonjol Padang 10 Juli 2018 (8).jpg. Membuat artikel baru: Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Tarbiyah Islamiyah Padang. WikiLatih Museum MACAN (Sumber Sejarah Terbuka Pemetaan Pameran Seni di. Pada pertemuan ini dibuat bersama templat Manual pembuatan lema di wt/min yang.
Oleh Ampera Salim Sebelum agama Islam dengan resmi dianut oleh masyarakat Minangkabau, keyakinan terhadap kepercayaan leluhur masih dipakai oleh sebahagian anak ranah ini. Akan tetapi dalam persidangan majilih adat (pemuka masyarakat) di nagari-nagari tetap duduk bersama di antara penganut paham yang berbeda. Konon ketika itu, masyarakat masih melihat perbedaan keyakinan sama halnya dengan perbedaan di bawah payung adat Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago.
Banyak juga ketika itu masyarakat yang patuh dan setia terhadap ajaran Budha dan ada pula pengikut ajaran Islam. Bahkan banyak pula yang menganut ajaran adat saja.
Perbedaan-perbedaan itu tidak pernah membuahkan benturan-benturan berbahaya di dalam masyarakat Minangkabau. “Karena, di setiap lubuk hati rakyat Minangkabau terpateri kata-kata bertuah, ‘ seadat-selimbago. Tuah sekata-celaka bersilang’. Kalau tuah atau tujuan bersama yang ingin di pilih, seiya sekatalah! Sebaliknya, kalau celaka yang diinginkan, maka bersilang sengketalah terus menerus,” seperti disebutkan Agustar Idris dalam bukunya Cindurmato dari Minangkabau. Sejak berlangsungnya perundingan antara kaum adat dan Islam di Puncak Bukit Marapalam, Orang Minangkabau menyepakati agama Islam dengan ajaran sucinya sebagai penyuluh laras kehidupan manusia menuju kebahagiaan, kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan.
Adat dan limbago adalah buah budinya rakyat Minangkabau di mana ajaran-Islam menyempurnakannya. Selama rakyat Minangkabau setia terhadap kata-kata bertuahnya Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabbullah, maka keseimbangan dan keselarasan alam Minangkabau dan isinya akan tetap terjaga dan terjamin, sehingga masyarakat yang di cita-citakan adat akan menjadi milik bersama dan milik anak cucu di sepanjang zaman. Sejak dahulu rakyat Minangkabau menaruh hormat dan bangga terhadap Majilih Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Segala keputusan hasil mufakat Majilih ini dilaksanakan secara utuh oleh rakyat dan lembaga adatnya.
Ada satu keputusan Majilih di masa kerajaan Pagaruyung yang sangat menentukan. Yaitu, ketika Ulama Besar Tuan Malano Basa dari Sumpur Kudus, ayah kandung dari Tuan Kadhi Padang Ganting, berniat mendirikan Limbago baru yang disebut Rajo Ibadat. Niat Tuan Malano Basa ini, secara resmi disampaikan kepada Majilih agar dapat direstui kehadirannya di Ranah Minang. Rupanya ketika itu, Majilih adat memberikan restu berdirinya Rajo Ibadat, maka sejak itu pula di pinggang Ranah Minang terselip tiga keris bertuah yaitu, Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Ketiga-tiganya menjadi senjata ampuh bagi rakyat Minangkabau dalam mencapai cita-cita bersama. Kedekatan Pribadi Orang Minang dengan Islam Konon menurut kabar yang dikisahkan dalam cerita Cindurmato, tersebutlah seorang yang bernama Andiko Panjang Gombak. Pada masanya Andiko dikenal sebagai salah seorang penasehat Raja Pagaruyung.
Selain dekat dengan keluarga kerajaan, sehari-harinya dia dengan tekunnya memimpin para pemahat dan pengukir di Bukitgombak, menyelesaikan beberapa prasasti dan patung yang sudah lama terbengkalai. Ada sebuah patung yang sangat besar dan perkasa, yang diberi nama oleh Andiko Perkasa Muda. Patung ini sudah dikerjakan selama enam tahun oleh pemahat-pemahat piawai dan sabar. Andiko sangat bangga terhadap hasil karya para senimannya, terutama terhadap patung Raksasa Muda itu.
Bersamaan dengan rasa bangga yang memenuhi rongga dadanya, terbentuk pula rasa khawatir di hatinya terhadap keamanan karya-karya seni yang telah dia hasilkan. Andiko maklum, bahwa rakyat Minangkabau tidak menyukai patung-patung, bahkan membencinya. Masa itu agama Islam juga telah menjalar dan berkembang secara perlahan tapi sangat meyakinkan di Ranah Minang. Dan Islam juga tidak dapat menerima kehadiran patung-patung karena dapat menyesatkan iman penganutnya. Pada saat itulah timbul pikiran Andiko untuk menghadiahkan patung tersebut ke sebuah tempat pemujaan di tanah Jawa, dimana dia diasuh dan dibesarkan. Dengan sebuah rakit bambu yang besar berlayarlah si Raksasa Muda menghiliri Batang Selo sampai di Muaro Sijunjung. Dari Muaro Sijunjung si Raksasa Muda itu ditarik oleh pasukan si binuang sampai Sikabau.
Dari Sikabau si Raksasa Muda kembali berlayar dihanyutkan arus Batang Hari menuju muaranya. Tapi, patung itu tak pernah sampai di Muara Batang Hari, karena rakit yang membawanya hancur berantakan di dekat pertemuan arus Batang Pangean dengan Batang Hari.
Andiko membiarkan si Raksana Muda itu terbenam sementara di pinggir Batang Hari, dan ia segera kembali ke Bukitgombak. Di Bukitgombak Andiko menyiapkan tenaga-tenaga baru dan mengajak Panglimo Limbubu dengan Pasukan Binuangnya untuk kembali menyelamatkan si Raksana Muda yang sedang terbenam.
Tapi rencana Andiko untuk mengantarkan si Raksana Muda itu ke tanah Jawa tak pernah menjadi kenyataan. Tepat sehari sebelum Andiko dan rombongan mau meninggalkan Bukitgombak, tiba-tiba Andiko jatuh sakit, badannya panas, keringat bagaikan air mengguyuri sekujur tubuhnya, tapi dari mulutnya selalu meluncur kata-kata, ‘dingin, dingin’. Hari berikutnya, di saat sinar matahari membayang di ufuk timur, Andiko kembali ke Maha Penciptanya.
Dia pergi dengan tenang, disaksikan oleh seluruh keluarga, sanak saudara dan sahabat-sahabatnya. Saat itu, Romandung yang bergelar Dang Tuanku, masih berumur enam puluh empat bulan dan Cindurmato lima puluh bulan.
Sekitar dua puluh tahun dia di Minangkabau, Andiko telah ikut mencurahkan seluruh kasih sayang, pengabdian, ilmu dan kearifan yang dimilikinya untuk membangun Minangkabau yang kuat, adil dan sejahtera. Perjuangannya yang gigih dan tak mengenal lelah itu memang tidak membuahkan sebuah kerajaan yang tangguh dan kuat, tetapi telah ikut mengisi Adat dan menuang Limbagonya Alam Minangkabau. Pada hari yang sama, setelah Andiko dikebumikan, seluruh anggota perwakilan Rajo Alam, mengadakan pertemuan di Bukitgombak. Pada pertemuan ini, secara bulat dimufakati untuk mengangkat Romandung sebagai pimpinan Anjung Rajo Alam. Karena Romandung masih kecil, maka dimufakati pula untuk mengangkat ibunya, Kambang Daro Marani sebagai pelaksana tugas sehari-hari dari pimpinan Anjung Rajo Alam dengan panggilan kehormatan Bundokandung.
Andiko telah tiada. Dia banyak meninggalkan kesan, kenangan dan warisan. Dia juga mewariskan perimbangan dan pertentangan di dalam masyarakat Minangkabau. Tapi Minangkabau tetap memanfaatkan perimbangan dan pertentangan itu untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan isinya. Seiring sejalan dengan perkembangan zaman, pada masa itu Sriwijaya dan Singosari sudah lenyap.
Kerajaan-kerajaan silih berganti muncul dan hilang. Raja bermahkota hari ini, besok menjadi tak berkepala. Kerajaan Islam di pantai Aceh bertambah kuat. Islam telah menyebar dan berkembang ke pelosok-pelosok Nusantara. Kampar kiri dan kanan, negeri-negeri sepanjang Batang Hari dan Musi, pantai utara pulau Jawa telah di terkam oleh kerajaan Islam. Minangkabau pun sejak permulaan Zaman Limbago sudah di masuki ajaran Islam. Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalur.
Jalur pertama dari Aceh ke pantai barat Minangkabau yang berpusat di Tiku Pariaman. Jalur kedua menempuh Kampar Kanan arah mudik sampai di Sumpur. Di sinilah tempat ibadah pertama didirikan berupa sebuah masjid yang di sebut masjid Al Kudus. Dan dari sini pulalah api suci Islam memancar menerangi Luhak nan Tigo: Tanahdatar, Agam dan Limapuluh Koto. Di saat semangat membangun membakar setiap jiwa rakyat Minangkabau, api Islam ikut serta menerangi sanubari mereka. Para ulama dan penganut setia Islam juga telah ikut bersimbah peluh dalam membangun daerah sekitar Pagaruyung, Rimbo Pulut-pulut, Labuah Basa Tigo Balai, Labuah Luhak dan pembangunan-pembangunan lainnya.
Orang-orang dari Teluk Persia, menurut cerita yang di sampaikan turun-temurun, telah mengunjungi Minangkabau jauh sebelum agama Islam lahir ke bumi. Mereka datang untuk membeli rempah-rempah seperti kemenyan, gambir, kapur barus dan lada. Diantara mereka banyak pula yang menetap di sini dan kawin dengan gadis gadis Bundokandung.
Tak kurang pula orang Minangkabau yang ikut berlayar ke bumi persia, diantara mereka ada yang menetap di sana, ada pula yang kembali pulang ke Minangkabau. Banyak kata-kata yang berasal dari bahasa mereka di ambil alih oleh orang Minangkabau. Di antaranya, alam, mualim, syahbandar, rahim, sultan, maulana, imam, nama hari dan bulan dan lain-lainnya.
Begitu Islam di perkenalkan di Ranah Minang, banyak tokoh-tokoh Limbago dan juga rakyat menaruh perhatian terhadap ajarannya dan lambat laun menganutnya. Islam menjamah tubuh Minangkabau kira-kira abad ke 13 M, selama kurun waktu itu telah banyak ulama dan mubalikh terkenal di lahirkan di bumi Bundokandung ini, bahkan sejarah mencatat, ulama-ulama dan mubalikh-mubalikh yang telah terpanggil jiwanya untuk meninggalkan Bundokandung demi tugas sucinya untuk menyebarkan ajaran agama Islam ke setiap pelosok Nusantara.
Di antara mereka dapat kita catat, Rajo Bagindo ke Sulu tanah Mindanau, Gurhano Bulan ketanah Bugis Makasar, Binuang Basa ke Kutai Kalimantan, Tan Tawi ke tahan Jawa, Johari Alim dan Siti Aminah ke tanah Pahang Negeri Sembilan dan Kalano Rahman ke tanah Serawak. Malah di Ujung Pandang, hingga terukir dengan tinta emas tiga datuk penyebar Islam ke Bugis Makasar. Mereka adalah Datuk Ribandang, Datuk Patimang dan Datuk Tiro. Syekh Burhanuddin. Salah satu penyebar Islam di Minangkabau bernama Burhanuddin. Beliau adalah murid dari Syeh Abdurrauf di Aceh.
Kalangan penulis sejarah, menyebutkan Syeh Burhanuddin hidup antara tahun 1646-1692 M. Beliau menyebarkan Islam hanya di Minangkabau saja. Tidak seperti tokoh-tokoh lainnya yang berangkat menuju perantauan. Hingga kini Syeh Burhanuddin tetap jadi pujaan bagi masyarakat Minangkabau. Kalau kita lihat, pada Bulan Safar atau pada waktu-waktu tertentu, banyak masyarakat yang tumpah ruah di makam Syeh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Hal ini merupakan sebuah fenomena sosial yang menarik dan komplek untuk dicermati. Dan yang lebih menarik bahwa orang-orang yang pernah datang ke sana untuk mengikuti ritual peribadatan akan selalu merasa kerinduan untuk berkesempatan mengulangi pengalaman spritual yang mereka peroleh di lingkungan makam Syekh Burhanuddin.
Syekh Burhanuddin di kalangan umat Islam Sumatera Barat, bukan hanya sekedar ulama besar. Akan tetapi diyakini pula bahwa beliaulah orang pertama penyebar agam Islam di daerah ini. Setidak-tidaknya dari beliaulah perkembangan agama Islam di Sumatera Barat mengalami proses penyebaran yang begitu pesat.
Sebagai ulama beliau memiliki kepribadian yang agung. Beliau seorang moderat yang mengerti apa yang dirasakan masyarakat. Beliau selalu bersempati kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Dan dengan cara demikian beliau memasukkan rasa dan kesadaran beragama ke dalam diri setiap orang. Dengan cara yang lemah lembut, dengan pendekatan persualif serta dengan sentuhan psikologis, beliau masuk ke dalam masyarakat di sekitarnya dan dari keseharian masyarakatnya pula beliau secara berangsur-angsur menanamkan nilai-nilai aqidah. Syekh Burhanuddin bukan dari aliran keras. Beliau seorang penyabar yang penuh santun.
Entah karena sugesti yang pernah beliau ciptakan atau karena nuansa kedamaian itu yang tumbuh bersemi maka di komplek makam dan Masjid Syekh Burhanuddin selalu terdapat rasa aman, nyaman, tentram, damai dan bersahabat. Setiap kali seorang pernah datang ke tempat itu maka di dalam dirinya akan ada kerinduan untuk kembali dan kembali lagi kesana. Syekh Burhanuddin telah lama pergi meninggalkan masyarakat Minangkabau. Tapi cahaya terang yang beliau tinggalkan dan keteladanan yang pernah beliau tebarkan, membuat makam dan suraunya senantiasa dikunjungi sepanjang masa. Dari mulutnya tidak pernah terdengar umpat dan cerca apalagi caci maki dan hujatan. Dari mulutnya selalu terdengar doa untuk kebaikan bersama.
Oleh M.Yunis. Pewadahan terhadap pergulatan ide dan pendapat seputar kebudayaan Minang sudah hampir berputik mulut membicarakannya, umpama sepohon kayu mungkin sekarang sudah besar buahnya atau sudah matang dan sudah patut pula dinikmati. Dimulai dari seminar tentang harta pusaka dan warisan pada bulan Juli 1968, kala itu menghadirkan makalah Profesor Mr. Mohammad Nasroen sementara beliau sendiri dikatakan tidak bisa hadir karena sakit, namun begitu lahir jua bukunya yang sampai sekarang masih relevan, ya! Siapa yang tidak kenal dengan Dasar Falsafah Adat Minangkabau (1957), dan dalam seminar itu pulalah sebuah lembaga penelitian kebudayaan Minangkabau, Center for Minangkabau Studies digagas Muchtar Naim sebagai direkturnya, kemudian menyusul seminar Sejarah Masuk islam ke Minangkabau di Padang (Juli 1969) yang mana di dalam forum, terjadi polemik misterius antara Buya Hamka dengan Onggang Parlindungan yang dikenal sebagai penulis buku Tuanku Rao. Polemik itu berlanjut di Batusangkar (1970).
Di samping mengahdirkan tokoh-tokoh intelektual cerdik-cendekia, alim-ulama, ninik-mamak, para pembesar, dan para hulubalang dari selingkup Sumatra Barat ketiga seminar ini sempat pula menghadir “brothers from Minang” orang Minang walaupun berasal dari rantau, namun sempat pula merasakan lumpur sawahnya orang Minang, beliau di antaranya Pak Hatta, Buya Hamka, Profesor Bahder Djohan. Alhasil seminar tersebut mencipta sebuah harapan yaitu sebuah Fakultas Sastra di Universitas Andalas. Dengan impian kajian terhadap kebudayaan Minangkabau ditingkatkan, di samping kebudayaan Nusantara lainnya, kebudayaan Islam, dan sekaligus kebudayaan dunia dapat ditekuni dan dipelajari. Di seminar itu juga dikatakan perpaduan antara kebudayaan Minang dengan kebebudayaan Islam harus diperkuat sebab ruh dan sandaran spiritual dari kebudayaan Minangkabau dan Nusantara itu tiada lain adalah Islam.
Dengan jalan ini generasi muda dapat berkontemplasi dan bercermin diri: sejauh mana generasi muda mengetahui kebudayaan nenek moyang mereka, khususnya kebudayaan Minangkabau, sehingga dapat diangkat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi bangsa dan kemajuan kemanusiaan di masa depan. Sewaktu Mawardi Yunus menjabat sebagai ketua LKAAM, dipersiapkanlah Impian itu, tepatnya 14-16 Februari 1980 diadakan Lokakarya Persiapan Pembukaan Fakultas Sastra, di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi.
Lokakarya itu juga disponsori oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, dan Volkswagen Stiffun, Jerman Barat. Sementara tokoh-tokoh yang hadir dalam lokakarya itu yaitu, Soejadmoko, Sutan Takdir Ali Syahbana, Selo Soemarjan, Koencoroningrat, Harsya Bachtiar, Alfian, yana mana sastra dan sosial budaya sudah menjadi makanannya sehari-hari dan seorang profesor Hans Dieter Evers dari Jerman. Memang benar-benar sebuah pesta budaya! Dalam Lokakarya itu pulalah dibicarakan latar belakang perlunya sebuah Fakultas Sastra dan Sosial-Budaya di Universitas Andalas.
Jika pada seminar-seminar sebelumnya lebih mengarah terhadap aspirasi budaya yang lebih bersifat internal dengan penggalian kebudayaan Minangkabau sebagai sentral dan tumpuan perhatian, namun saat itu perhatian lebih ditekankan pada perlunya mencapai kualitas dan prestasi akademik yang dapat menandingi fakultas-fakultas serupa di tanah air. Dalam lokakarya itu juga lahir keinginan untuk Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya ( Naim; Lustrum 3 Fakultas Sastra; Maret 1997). Selanjutnya politik Mercusuar pun dijalankan, september 1980 yang bertempat di Gedung Negara Tri Arga Bukittinggi, diadakanlah sebuah seminar Internasional dengan tema Kesusastraan, Kemasyarakatan, dan Kebudayaan Minangkabau. Seminar ini memang bercorak internasional tujuannya ialah untuk memancing perhatian para ahli di dalam maupun luar negeri sehingga di saat itu datanglah peserta dari Amerika, Kanada, Australia, Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris. Dengan penuh keberanian pula, Muchtar Naim menyampaikan makalahnya yang berjudul “Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara”, akibatnya Rektor Mawardi Yunus pun terbata-bata dalam menanggapi makalah itu. Alhasil dari seminar itu para panitia persiapan Fakultas Sastra berhasil mengkomunikasikan dan menyebarluaskan informasi tentang pembentukan Fakultas Sastra dan Sosial Budaya ke berbagai universitas di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus mengadakan kerjasama antar lembaga di masa-masa yang akan datang. Inilah sebuah harapan.
Namun setelah 2 tahun lelah berjuang akhirnya turun sebuah SK Presiden No.39 tahun 1982, bahwa Fakultas Sastra Universitas Andalas disetujui. Bahkan Fakultas Sastra didahulukan pembukaannya dari pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Saat itu, Fakultas Sastra memiliki 4 jurusan: Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sejarah, dan Sosiologi. Jurusan Sastra Indonesia menyelenggarakan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Jurusan Sosiologi Program Studi Sosiologi dan Antropologi. Pada akhirnya tahun 1983 dibuka pula Jurusan Sastra Daerah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau. Nah tercapai jualah yang diangan-angankan itu, sebab dengan berdirinya jurusan sastra darah Miangkabau lebih diharapakan penggalian terhadap budaya minang lebih intensif. Pada saat itu sebuah beban berat telah terusung di atas pundak orang Minang terlebih lagi generasi muda semakin mengakar. Sudah sepatutnyalah kita bangga, Fakultas sastra berdiri atas inisiatif dari generasi yang padat wawasan, serta menguasai banyak bahasa asing, hal itu pun dilatari oleh sebuah keinginan untuk menggali kebudayaan Minangkabau. Mungkin dengan berdirinya Fakultas Sastra harapan itu belum sepenuhnya terwujut, maka kembali diadakan seminar Internasional Minangkabau tangal 23-24 Agustus 2004 dengan tema: Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural, yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Jurusan Sastra Daerah-Universitas Andalas, pada tanggal 23-24 Agustus 2004, di Inna Muara Hotel-Padang.
Seminar itu dihadiri oleh pemakalah dari dalam maupun luar negri, seperti Prof. Azyumardi Azra dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Sjafri Sairin, Prof. Hasanuddin WS, Prof. Faruk dari UGM, Prof.
Bustanuddin Agus, Prof. Mohtar Naim, Prof. Sjahmunir AM, Ding Choo Ming, Ph.D, Prof. I Gde Pitana, Amin Sweeney, Dr. Oman Fathurahman, Dr. Jufrizal, Dr. Luminta Intang, APU., Dr.
Herwandi, Dr. Nursyirwan Effendi. Bahkan seminar itu lebih meriah dan lebih mercusuar dari tahun 1980. Kemudian tanggal 23-24 Desember 2004 yang lalu, berlangsung pula seminar Internasional dengan tema ‘’Retropspeksi, Reposisi, dan Revitalisasi Kebudayaan Minangkabau’’ di Bumi Minang Padang. Kali ini kerisauan serta kecemasan kembali mengemuka sehinggapara pemikir dalam forum akhirnya sepakat memfonis bahwa kebudayaan Minangkabau sedang mengalami pengkroposan dan degradasi nilai.
Dikatakan orang Minang perlu intropeksi diri agar kebudayaan minang tidak tercabut dari akar budayanya sendiri. Akhirnya lahirlah modus yang dirasa tepat untuk mewujudkan smua keinginan itu dan selanjutnya disampaikan pada pemerintahan daerah. Nah, ternyata kebijakan tersebut terkesan dikerjakan setengah (Herwandi: 2007), sehingga pada 29-30 November 2006 di Inna Muaro Hotel lahir kembali sebuah kongres kebudayaan yang diselengarakan oleh pemerintahan daerah Sumatera Barat betemakan ‘’kongres kebudayaan dan Apresiasi Seni’’.
Dalam seminar itu yang diundang hanya penghulu-penghulu dan pemuka Adat di Sumatra Barat tanpa melibatkan Akademik dan intelektual muda sehinga lahirlah gagasan untuk mendirikan kembali kerajaan Minangkabau. Pertentangan pun kembali mencuat, ada sebagian orang Minang setuju, sebagian mengutuk dan sebagian Abstain.
Kenyataannya, rentetan seminar-seminar di atas juga didak mampu melahirkan sebuah komitmen bersama budayawan Minang, untuk mambangkik batang tarandam, tapi hanya berlanjut menjadi sebuah sebuah harapan baru, sedangkan harapan terdahulu belum juga terwujut. Barangkali budaya Minangkabau hanya dijadikan kendaraan politik saja. Kalau memang pemerintah memang benar-benar serius dalam menyikapi dan memeprhatikan kebuadayaan Minangkabau, pemerintah tidak harus perlu turun tangan kelapangan, biarlah orang-orang yang kenal dengan lumpur sawahnya orang Minang yang akan melaksanakannya. Lagi pula sarana dan prasarana untuk itu sesungguhnya sudah tersedia. Intelektual seminar tahun 1980-an yang menggagasnya. Tetapi, pemerintah sendiri sepertinya tidak acuh, sehingga sarana itu pun sampai sekarang tidak seluruhnya orang tahu, sehingga egoisisme yang dimiliki pemerintahan juga diwarisi oleh generasi selanjutnya.Alumni Sastra Minangkabau. 1897 - 1949 1921 1925 1926 1943 1945 1946 1948 Tan Malaka (1921) Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987 Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007) Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan. Kata Pengantar Penerbit Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36. Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda.
Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat! Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka.
Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”. Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia. Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis. Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam.
Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda. Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut: 1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti: berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah. Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya. Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia.
![Sejarah Islam Masuk Di Minangkabau Pdf To Jpg Sejarah Islam Masuk Di Minangkabau Pdf To Jpg](/uploads/1/2/5/4/125489863/391375561.jpg)
Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman. Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut: “WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT” ”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”. Penerbit, Yayasan Massa, 1987.